ROTASI.CO.ID, Indonesia – Shalat Jumat disyariatkan di dalam Al-Quran AlKariem, As-sunnah an-Nabawiyah dan juga atas dasar ijma’ seluruh umat Islam. Para ulama telah berijma’ bahwa siapa yang mengingkari kewajiban shalat jumat, maka dia kafir karena mengingkari Al-Quran dan As-Sunnah.
Di dalam Al-Quran, pensyariatan shalat jumat disebutkan di dalam sebuah surat khusus yang dinamakan dengan surat Al-Jumu’ah. Disana Allah telah mewajibkan umat Islam untuk melaksanakan shalat jumat sebagai bagian dari kewajiban dan fardhu ‘ain atas tiap-tiap muslim yang memenuhi syarat.
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kalian kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Jumu’ah : 9)
Di dalam ayat ini Allah SWT memerintahkan umat Islam apabila dipanggil untuk mengerjakan shalat di hari Jumat, untuk segera berjalan mendatangi dzikrullah.
Ada banyak hadits nabawi yang menegaskan kewajiban shalat jumat. Diantaranya adalah hadits berikut ini :
“Dari Thariq bin Syihab radhiyallahu‘anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Shalat Jumat itu adalah kewajiban bagi setiap muslim dengan berjamaah, kecuali (tidak diwajibkan) atas 4 orang, yaitu budak, wanita, anak kecil dan orang sakit.” (HR. Abu Daud)
“Dari Abi Al-Ja’d Adh-dhamiri radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Orang yang meninggalkan 3 kali shalat Jumat karena lalai, Allah akan menutup hatinya.” (HR. Abu Daud, Tirmizy, Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad)
“Dari Ibnu Umar dan Abu Hurairah radhiyallahuanhu berkata bahwa mereka mendengar Rasulullah SAW bersabda di atas mimbar,”Hendaklah orang-orang berhenti dari meninggalkan shalat Jumat atau Allah akan menutup hati mereka dari hidayah sehingga mereka menjadi orang-orang yang lupa”.(HR. Muslim, An-Nasai dan Ahmad)
Berdasarkan riwayat di atas, meninggalkan shalat jum’at termasuk dosa-dosa besar. Al-Hafidz Abu AlFadhl Iyadh bin Musa bin Iyadh dalam kitabnya Ikmalul Mu’lim Bifawaidi Muslim berkata: “Ini menjadi hujjah yang jelas akan kewajiban pelaksanaan shalat Jum’at dan merupakan ibadah Fardhu, karena siksaan, ancamam, penutupan dan penguncian hati itu ditujukan bagi dosa-dosa besar (yang dilakukan), sedang yang dimaksud dengan menutupi di sini adalah menghalangi orang tersebut untuk mendapatkan hidayah sehingga tidak bisa mengetahu mana yang baik dan mana yang munkar”.
Di antara dalil-dalil yang dijadikan sandaran atas hal ini adalah hadits-hadits berikut ini :
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka wajiblah atas mereka shalat Jumat, kecuali orang sakit, musafir, wanita, anak-anak dan hamba sahaya”. (HR. Ad-Daruqutny)
“Dari Thariq bin Syihab radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Shalat Jumat itu adalah kewajiban bagi setiap muslim dengan berjamaah, kecuali (tidak diwajibkan) atas empat orang, yaitu budak, wanita, anak-anak dan orang sakit.” (HR. Abu Daud)
Lalu, apa, siapa dan dalam kondisi bagaiamana saja yang diperbolehkan untuk tidak melaksanakan shalat jumat?
Syarat diwajibkannya shalat jumat adalah kewajiban shalat Jumat berlaku untuk sebagian dari umat Islam. Sebagian lagi tidak diwajibkan, yaitu para wanita, orang sakit, anak-anak, musafir, budak.
Al-iqamah (اﻹﻗﺎﻣﺔ), Makna Al Iqamah maksudnya adalah berdiam, bermukim atau bertempat tinggal, sebagai lawan dari musafir.
Maka yang diwajibkan untuk shalat Jumat terbatas pada mereka yang statusnya mukim dan bukan musafir. Shalat Jumat tidak wajibkan atas musafir yang sedang dalam perjalanan. Kalau dikatakan tidak diwajibkan maksudnya musafir tidak harus shalat Jumat.
Tetapi bila dalam perjalanan musafir ikut dalam sebuah shalat Jumat, hukumnya sah dan tidak perlu mengerjakan shalat Dzhuhur. Batasan musafir adalah orang yang keluar dari negeri atau wilayah tempat tinggalnya, dengan tujuan tertentu yang pasti dan minimal berjarak 4 burud, atau kurang lebih 89 km.
Dasar ketentuan minimal empat burud ini adalah sabda Rasulullah SAW berikut ini :
“Dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Wahai penduduk Mekkah, janganlah kalian mengqashar shalat bila kurang dari 4 burud, dari Mekkah ke Usfan”. (HR. AdDaruquthuny).
Nah, bagaimana dengan kondisi di tengah Wabah Menular seperti covid-19, saat ini? Apakah tetap harus melakukan shalat jumat?
Majelis Ulama Indonesia melalui Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Asrorun Niam Sholeh menjelaskan berdasarkan udzhur syar’i atau segala halangan sesuai kaidah syari’at Islam yang menyebabkan seseorang boleh untuk tidak melakukan kewajiban atau boleh menggantikan kewajiban itu dengan kewajiban lain.
Menurut pandangan para ulama fiqih (ilmu hukum agama) udzhur syar’i untuk tidak salat Jumat antara lain karena sakit atau karena khawatir mendapatkan sakit. Nah, dalam kondisi ketika berkumpul dan berkerumun itu diduga kuat akan terkena wabah atau menularkan penyakit, maka itu menjadi udzhur untuk tidak Jumatan (salat Jumat).
Akan tetapi, ia menegaskan, apabila laki-laki muslim yang meninggalkan salat Jumat karena meremehkan atau mengingkari kewajiban Jumat tiga kali berturut-turut, sebagaimana dinukil dari hadits Shahih, maka dia bisa dikategorikan kafir.
Kemudian, Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Din Syamsuddin juga memberikan tenggapan terkait imbauan untuk tidak melaksanakan salat berjamaah di masjid selama pandemi COVID-19. Hal ini menyusul beredarnya pemahaman masyarakat bahwa meninggalkan salat jumat 3 kali berturut-turut dikategorikan kafir.
Kata Din Syamsuddin, imbauan tidak salat berjamaah di masjid selama wabah COVID-19 sejatinya memindahkan masjid ke rumah. Maksudnya, salat berjamaah saat ini tetap bisa dilakukan, tetapi dengan jumlah orang yang terbatas, misalnya di lingkungan keluarga.
Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah itu menambahkan, walau bagaimanapun salat wajib yang dilakukan secara berjamaah adalah lebih afdhal daripada dilakukan sendiri meski dipraktikkan di lingkungan kecil, seperti di skala rumah. Minimal salat jamaah adalah dua orang.
Demi menjaga kebaikan seluruh umat, Din mengajak kedisiplinan umat manusia, sehingga mata rantai penularan COVID-19 dapat terputus meski keadaan terus berkepanjangan, bahkan mungkin sampai Ramadhan. Pada bulan puasa yang memiliki keutamaan pahala, terdapat banyak amalan yang dapat dilakukan meski tanpa dilakukan dalam kerumunan. (fn1/r1)
Sumber:
- Hukum-Hukum Terkait Ibadah Shalat Jumat, Judul Shalat Jumat, Cetakan (2/9/2018), Penulis Ahmad Sarwat, Lc., MA, Penerbit Rumah FIqih Publishing.
- Konfrensi Pers Majelis Ulama Indonesia (MUI)