ROTASI.CO.ID – Shalat Idul Adha mengingatkan kita kepada pribadi agung Nabi Ibrahim dan keluarganya sebagai teladan bagi manusia. Keluarga yang taat, bersyukur dan sabar. Keluarga yang harmonis dan rukun. Keluarga yang melahirkan generasi yang saleh. Keluarga yang mampu membangun peradaban manusia berbasis tauhid dan syariah yang agung.
Para Rasul memiliki kelebihan yang berbeda-beda, sebagaimana Nabi Ibarahim , Allah telah mengangkat derajatnya sekaligus menjadi teladan yang baik (uswah) bagi umat manusia sesuai dengan firman Allah :
“Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya: “Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah”. (Ibrahim berkata): “Ya Tuhan kami hanya kepada Engkaulah kami bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali,”(QS. Al-Mumtahanah:4).
Berikut beberapa uswah (keteladanan) dari Nabi Ibrahim yang dapat kita ikuti:
Keteladan Nabi Ibrahim dalam Tauhid
Kisah agung Nabi Ibrahim adalah bukti peneguhan nyata akan tauhid, perjalanan hidupnya selalu berpijak pada kebenaran dan tidak pernah berpaling dari kebenaran, beliau selalu patuh kepada Allah dengan tulus dan ikhlas, juga selalu bersyukur atas nikmat yang diperolehnya. Sesuai dengan firman Allah :
“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan), (lagi) yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus”.(QS. an-Nahl: 120-121)
Beliau adalah sosok pembawa panji-panji tauhid, perjalanan hidupnya yang panjang syarat dengan dakwah kepada tauhid dengan segala lika-likunya, sejak dakwah beliau kepada kaumnya di Babilonia, Irak, saat menghadapi Raja Namrud dan pengikutnya hingga perintah hijrah beliau ke wilayah Syam, Palestina untuk menjaga dan memakmurkan Masjidil Aqsa serta perintah Allah untuk membawa sebagian keluarganya (Hajar dan Ismail putranya) ke wilayah Hijaz (Makkah Al Mukaramah).
Gambaran tentang dakwah tauhid yang beliau sampaikan serta ketegasan terhadap segala kemusyrikan, Allah terangkan dalam surat al-Mumtahanah di atas.
Nabi Ibrahim mengingkari kaumnya, tidak mengacuhkan tuhan-tuhan mereka, dan tidak membenarkan perbuatan mereka yang menyembah patung-patung yang tidak dapat memberi manfaat dan mudarat kepada siapapun.
Hal ini menunjukan pemisahan yang jelas dan tegas dari Nabi Ibrahim kepada orang-orang musyrik termasuk komunis yang atheis (tidak bertuhan dan tidak mengakui adanya Tuhan). Bahwa tidak ada lagi ikatan-ikatan dan hubungan-hubungan setelah terputusnya ikatan akidah dan hubungan iman. Dalam hal ini, keputusan dan ujian yang harus ditempuh dan dilalui oleh setiap mukmin pada setiap generasi hingga hari kiamat.
Tauhid, meng-Esa-kan Allah adalah pokok aqidah yang menjadi pegangan dan ajaran semua nabi-nabi, termasuk yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim . Syarat dan tata cara peribadatan mungkin berbeda, namun dalam pokok aqidah tidaklah berubah. Sebab itu di samping kewajiban mengikuti langkah Nabi Muhammad yang teguh berpegang pada pendirian tauhid itu, suri teladan pun hendaklah diambil juga dari nabi-nabi yang lain, terutama Nabi Ibrahim yang dengan datangnya Nabi Muhammad itu untuk membersihkan agama Islam dari kaum Quraisy dengan berbagai macam berhala yang mengantarkan kepada kemusyrikan.
Keteladana Nabi Ibrahim dalam Berkurban
Syariat qurban pertama kali dilakukan oleh Nabi Ibrahim , berdasarkan firman Allah: “Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar”.(QS. as-Shafat: 107).
Kata qurban berasal dari bahasa Arab, yakni qaraba, yaqrabu, qurbanan yang memiliki arti dekat. Kurban juga disebut al-udhhiyyah dan adh-dhahiyyah yang berarti binatang sembelihan.
Secara istilah qurban berarti mendekatkan diri kepada Allah dengan menyembelih hewan kurban (seperti unta, sapi (kerbau), dan kambing) pada hari raya Idul Adha dan hari-hari tasyriq (tanggal 11, 12, dan 13).
Perintah berqurban ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya:
“Maka laksanakan shalat karenaTuhan-mu dan berqurbanlah” (QS. al Kautsar: 2).
Bahkan Rasulullah menekankan pentingnya berqurban dengan ancaman sebagaimana hadits dari Abu Hurairah r.a.: “Barangsiapa yang mempunyai kemampuan untuk berqurban, tapi ia tidak mau berqurban, maka janganlah ia dekat-dekat tempat shalat kami.” (HR. Ahmad)
Berdasarkan Al-Qur’an dan hadits Rasulullah bahwa berkurban itu memberikan hikmah yang banyak, diantaranya:
- Berkurban sebagai syiar Islam (QS. al-Hajj; 34).
- Berkurban sebagai kenangan untuk mengingat kecintaan Allah kepada Nabi Ibrahim Alaihi Salam (QS. ash-Shafat: 102).
- Berkurban sebagai misi kepedulian kepadamu sesama (HR. Muslim).
- Berkurban merupakan ciri keislaman seseorang (HR. Ahmad).
- Ibadah kurban adalah amal yang paling dicintai pada hari itu (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi).
- Setiap yang berkurban akan mendapatkan pahala sebanyak bulu yang melekat pada hewan kurban (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).
Idul Adha sejatinya merayakan kemenangan spiritual setelah sukses dengan makrifatullah (mengenal Allah) dalam puncak rangkaian ibadah Haji pada peristiwa wukuf di Arafah yang berarti manusia berhenti pada titik ia mengenal dirinya dan mengenal penciptanya, Allah .
Sehingga semangat berkurban ini adalah semangat berjihad yang tak terkalahkan dengan harta, tahta, wanita dan anak tercinta yang dapat mengantarkan pada cinta yang otentik dan kedekatan yang paling tinggi di hadapan Allah . Sebagaimana firman-Nya yang lain:
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya”. (QS. an-Nisa: 125).
Keteladanan Nabi Ibrahim dalam menjaga Masjidil Aqsa
Nabi Ibrahim adalah Nabi yang secara khusus Allah perintahkan untuk berhijrah membangun, mendiami, memelihara dan menjaga kesucian Masjidil Aqsa. Hal itu terjadi setelah beliau menghadapi tantangan penolakan dakwah yang besar di negeri Babilonia dengan Raja Namrud dan pengikutnya. Sebagaimana firman Allah :
“Dan Kami selamatkan Ibrahim dan Luth ke sebuah negeri yang Kami telah memberkahinya untuk sekalian manusia. Dan Kami telah memberikan kepadanya (Ibrahim) lshak dan Ya’qub, sebagai suatu anugerah (dari Kami). Dan masing-masingnya Kami jadikan orang-orang yang saleh” (Qs. Al Anbiya : 71-72).
Hampir sebagian besar usia Nabi Ibrahim dihabiskan di tanah suci Syam Palestina, bersama sebagian keluarga, anak dan keturunannya, yaitu Ishak dan Ya’kub.
Nabi Ibrahim adalah pelanjut dari pembangunan Masjid Al-Aqsa, setelah diawali oleh Nabi Adam .
Masjidil Aqsa adalah masjid yang Allah sucikan di tanah yang diberkahi. Masjid yang disebutkan dalam Al-Qur’an sebagai isyarat kemuliaan. Masjid yang pernah disinggahi oleh Rasulullah dalam peristiwa Isra Mi’raj, dan masjid yang menjadi kiblat pertama umat Islam. Sebagaimana firman-Nya:
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. Al Isra’: 1).
Masjidil Aqsa adalah rumah ibadah kedua tertua di dunia setelah Masjidil Haram yang dibangun di muka bumi. Dijelaskan di dalam sebuah hadits, Abu Dzar berkata:
“Wahai Rasulullah, masjid apakah yang pertama diletakkan oleh Allah di muka bumi?” Beliau bersabda, “Al-Masjid Al-Haram”. Abu Dzar bertanya lagi, “Kemudian apa?”. Beliau bersabda, “Kemudian Al-Masjid al-Aqsha”. Berkata Abu Mu’awiyah “Yakni Baitul Maqdis”. Abu Dzar bertanya lagi, “Berapa lama antara keduanya?”. Beliau menjawab, “Empat puluh tahun” (HR Ahmad).
Al Aqsa merupakan salah satu masjid yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad untuk dikunjungi selain Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.
“Tidak dikerahkan melakukan suatu perjalanan kecuali menuju tiga Masjid, yaitu Masjid Al-Haram (di Mekkah), dan Masjidku (Masjid An-Nabawi di Madinah), dan Masjid Al-Aqsha (di Palestina)” (HR. Bukhari dan Muslim).
Masjid yang menjadi wakaf bagi kaum muslimin agar mereka menjaga, merawat dan memakmurkannya.
Keteladan Nabi Ibrahim dalam Dakwah Kesatuan
Nabi Ibrahim adalah manusia yang menemukan Tuhan dalam arti yang sebenarnya, yaitu Tuhan Yang Satu, Allah , Tuhan seru sekalian alam, Tuhan pencipta manusia, Tuhan yang satu dengan prinsip tauhid, La Illaha Ilallah. Sesuai dengan firman Allah :
“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan”. (QS. Al An’am :79).
Karena Rob itu satu, maka mereka adalah umat yang satu, agama yang satu, kebenaran yang tunggal, yang datang hanya dari Allah . Jika manusia berpegang teguh kepada kebenaran agama Allah itu, maka akan menjadi dasar terwujudnya kesatuan umat dalam Al Jama’ah yang tidak dapat dipecah belah oleh situasi dan kondisi apapun.
Jadi syariat berjamaah, perintah untuk menjaga persatuan umat dan menjauhi perpecahan sudah ada sejak zaman Nabi Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa Alaihimus Shalawatu wa Salam. Inilah misi syariat seluruh para Nabi dan Rasul, khususnya lima Nabi yang disebut sebagai Ulul Azmi. Misi yang sama yaitu menegakkan agama dengan kesatuan. Allah berfirman:
“Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).” (QS. Asy-Syura: 13)
Nabi-nabi yang utama tadi diperintah oleh Allah untuk berjamaah dalam menegakkan agama Islam dengan tidak berpecah-belah. Perintah ini sudah ada sejak ribuan tahun lalu. Hidup berjama’ah ini merupakan Manhaj Nubuwwah yang harus diikuti oleh kaum muslimin. Allah berfirman:
“Dan berpegang-eratlah kamu semuanya dengan tali (agama) Allah seraya ber-Jama’ah, dan janganlah kamu berfirqoh-firqoh. Dan ingatlah akan ni`mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni`mat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS.Ali Imran 103).
Bahkan Rasulullah memerintahkan umatnya untuk bersatu sebagai landasan perjuangan dalam menegakkan agama Allah sebagaimana sabdanya:
“Aku perintahkan kepada kamu sekalian (muslimin) lima perkara, sebagaimana ALLAH telah memerintahkanku dengan lima perkara itu: berjama’ah, mendengar, tha’at, hijrah dan berjihad fie sabilillah. Barang siapa yang keluar dari Al-Jama’ah sekedar sejengkal, maka sungguh terlepas ikatan Islam dari lehernya sampai ia kembali (taubat). Dan barangsiapa yang menyeru dengan seruan jahiliyah, maka ia termasuk golongan orang yang bertekuk lutut dalam Jahannam.
“Para shahabat bertanya: “Ya Rasulallah, jika dia shaum dan shalat?” Rasulullah bersabda: “Sekalipun dia shaum dan shalat dan mengaku dirinya seorang Muslim. Maka panggillah olehmu orang orang Muslim itu dengan nama yang Allah telah berikan kepada mereka: “Al-Muslimin, Al-Mu’minin, hamba-hamba Allah ‘azza wajalla.” (HR. Ahmad dari Harits al-Asy’ari).
Demikian sahabat, teladan Nabi Ibrahim yang dapat di ikuti oleh seluruh umat muslim bahkan umat manusia di Dunia. Semoga kita semua dalam perlindungan Allah SWT. Aamiin. Wallahualam Bissawab. (ar)
Sumber:
- Ali Farkhan Tsani, Da’i Pesantren Al-Fatah Bogor, Jabar, Majelis Dakwah Pusat Jama’ah Muslimin (Hizbullah)