Rotasi.co.id – Rencana pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada Januari 2025 mendapat kecaman dari Direktur Next Policy, Yusuf Wibisono.
Ia menilai kebijakan ini sebagai langkah ‘jalan pintas’ yang berisiko tinggi dan berpotensi memperparah kondisi ekonomi masyarakat, khususnya kelompok berpenghasilan rendah dan menengah.
“Tax ratio pada 2023 hanya 10,23% dari PDB, bahkan lebih rendah daripada awal pemerintahan Presiden Jokowi di 2015 yang mencapai 10,76%,” ungkap Yusuf dalam keterangan pers pada Selasa (24/12/2024).
Menurutnya, peningkatan penerimaan PPN pasca kenaikan dari 10% ke 11% pada 2022, dari 3,25% PDB menjadi 3,62% PDB di 2023, tidak cukup menjadi justifikasi untuk menaikkan tarif lagi.
Hal ini terutama karena peningkatan tersebut dibarengi dengan stagnasi dan penurunan penerimaan Pajak Penghasilan (PPh).
Yusuf menegaskan penolakannya terhadap rencana tersebut.
“Kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen pada 2025 seharusnya dibatalkan. Tambahan penerimaan yang diharapkan berpotensi tidak sebanding dengan dampak negatifnya, mulai dari melemahnya daya beli masyarakat, potensi inflasi yang lebih tinggi, hingga peningkatan kesenjangan ekonomi,” tegasnya.
Pemerintah menargetkan kenaikan penerimaan PPN dan PPnBM sebesar Rp 133,8 triliun pada 2025. Namun, Yusuf menyoroti kontradiksi dalam proyeksi tersebut.
Menurutnya, sebagian besar kenaikan target pendapatan PPN 2025 (Rp 115,7 triliun) berasal dari PPN dalam negeri, sementara target pendapatan PPnBM dalam negeri justru turun Rp 9,8 triliun.
“Secara implisit, target kenaikan pendapatan PPN dalam negeri yang tinggi sebagian adalah untuk mengkompensasi penurunan target pendapatan PPnBM dalam negeri,” jelas Yusuf.
Ia menekankan perlunya strategi yang lebih komprehensif.
“Dengan kesenjangan ekonomi yang tinggi, optimalisasi penerimaan PPN seharusnya dilakukan tanpa menaikkan tarif. Pemerintah perlu fokus pada pemberantasan kejahatan perpajakan, seperti penggelapan omset penjualan dan restitusi fiktif,” paparnya.
Yusuf menyimpulkan, PPN seharusnya menjadi alat untuk menciptakan keadilan fiskal, bukan sekadar sarana untuk mengejar penerimaan negara.
“Ironis jika pemerintah justru menurunkan target pendapatan PPnBM yang sejatinya ditujukan untuk barang mewah,” pungkasnya. (ar)