ROTASI.CO.ID – Kata nafkah secara bahasa berasal dari bahasa Arab (نفقة (anfaqa – yunfiqu- infaqan – nafaqatan yang berarti mengeluarkan, infaq berarti almashrûf wa al-infâq, yakni biaya belanja, pengeluaran uang, dan biaya hidup. Nafkah ini bentuk tunggal, jamaknya bisa (نفقات (bisa juga (نفاق .( Aslinya makna nafkah merujuk kepada harta dari dirham.
Sedangkan menurut syariat, para ulama menyebutkan bahwa nafkah adalah mencukupi kebutuhan orang yang menjadi tanggungan baik berupa makanan, lauk, pakaian dan tempat tinggal dan turunannya, sesuai dengan kebiasaan (‘urf). Nafkah diartikan sebagai biaya yang wajib dikeluarkan oleh seseorang terhadap sesuatu yang berada dalam tanggungannya meliputi biaya untuk kebutuhan pangan, sandang, papan, termasuk juga kebutuhan sekunder seperti perabot rumah tangga dan juga pembantu.
Kata nafaqah dalam bahasa Indonesia diserap dalam dua kata; nafkah dan infak. Kata nafkah diartikan sebagai belanja untuk hidup atau uang pendapatan.16 Adapun infak diartikan sebagai pemberian sumbangan selain zakat wajib untuk kebaikan. Infak juga disinonimkan dengan sedekah.
Ayat dan Hadist Nafkah
Ada beberapa ayat dan hadits yang berkaitan dengan nafkah dalam keluarga. Diantara ayat dan hadits itu adalah:
“Kaum laki-laki itu adalah pelindung bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkansebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”. (Q.S. an-Nisa: 34).
Dan: “Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya”. (Q.S. al-Baqarah: 233).
Ayat di atas menunjukkan bahwa kewajiban seorang suami memberi makan, pakaian kepada istri dengan cara makruf, dan itu dilakukan sesuai dengan kesanggupan. Selanjutnya ayat lain lebih menegaskan:
“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu maka berikanlah imbalannya kepada mereka; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya (6) Hendaklah orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang terbatas rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebani kepada seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang diberikan Allah kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan”. (Q.S. at-Thalaq: 6-7).
Ayat di atas tidak memberikan ketentuan yang jelas dan pasti mengenai berapa besarnya ukuran nafkah seorang suami kepada isteri baik berupa batas maksimal maupun batas minimal. Tidak adanya ketentuan yang menjelaskan berapa ukuran nafkah secara pasti, justru menunjukkan betapa fleksibelnya Islam dalam menetapkan aturan nafkah. Maka, jika suami tidak sanggup memberi nafkah kepada istri, menurut Muhammad Ali as-Sayis (w. 1340 H) tidak berlaku hukum fasakh.
Ayat ini tampak juga merinci lebih jauh hak isteri yang menjadi tanggung jawab suami. Berdasarkan kata askinu dapat dimengerti suami wajib memberikan tempat tinggal kepada isteri yang telah ditalak baik talak raj’i, ba’in, baik hamil ataupun tidak.
Adapun beberapa hadits tentang nafkah dalam keluarga adalah beberapa sabda dari Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم sebagai berikut:
“Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Ishaq bin Ibrahim, semuanya dari Hatim. Berkata Abu Bakar: Telah menceritakan kami Hatim bin Isma’il Al Madani, dari Ja’far bin Muhammad dari Ayah beliau, beliau berkata: Kami masuk menemui Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu beliau berkata: Rasulullah bersabda: “Bertakwalah kalian kepada Allah (dalam menangani) istri-istri. Sesungguhnya kalian mengambil mereka dengan rasa aman dari Allah, menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Hak kalian atas mereka, (ialah) mereka tidak boleh memasukkan ke ranjang kalian seseorang yang kalian benci. Jika mereka melakukannya, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Bagi mereka (yang menjadi kewajiban) atas kalian memberi rezki dan sandang bagi mereka dengan sepantasnya”. (HR Muslim)
Hadits di atas, dinyatakan bahwanafkah suami kepada isteri merupakan kewajiban yang pasti berdasarkan al-Qur’an, sunnah, dan ijma’. Kewajiban suami menafkahi isteri timbul sejak terlaksananya akad sah pernikahan antara dirinya dan isterinya itu.23 Kewajiban menafkahi tetap berlaku sekalipun si isteri adalah seorang perempuan kaya atau punya penghasilan sendiri.
Seorang suami setelah terjadinya akad nikah yang sah, telah memiliki hak untuk menahan isteri untuk tetap tinggal bersamanya, maka sudah seharusnya laki-laki atau suami mendapatkan beban kewajiban nafkah kepada isteri, sebagai konpensasi dari penahanan tersebut.
Diskusi Perbedaan Dali-Dalil
Dalam ayat Al-Qur’an Q.S. al-Nisâ’ 4: 34 diatas disebutkan bahwa: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka…” Terjemah ini terjemahan yang umum dipahami oleh masyarakat, di mana laki-laki adalah “pemimpin” bagi perempuan.
Kementerian Agama RI pada tahun 2012 ternyata telah merevisi penerjemahan di atas, di mana dalam revisi tersebut, kata qawwâm tidak lagi diartikan sebagai “pemimpin”, akan tetapi sebagai “pelindung”.
Maka, dua hal itulah yang menjadi kelebihan dari suami dalam keluarga, yaitu menjadi pelindung dan pemberi nafkah dalam keluarga.27 Salah satu bentuk perlindungan suami kepada istri adalah pemberian nafkah.
Abd al-Rahmân al-Sa’dî menafsirkan kalimat “wa bimâ anfaqû min amwâlihim” sebagai sebuah petunjuk pengutamaan laki-laki atas wanita karena sebab kewajiban memberi nafkah kepada istri, dan lakilaki merupakan wali dan tuan bagi istrinya, sedangkan istri adalah pendamping, tawanan dan pelayan, untuk itu maka tugas laki-laki harus menunaikan perintah Allah جل جلاله tersebut yakni memberi perlindungan dan nafkah.
Sedangkan Al-Qurthubî memberi penekanan tentang pentingnya pemberian nafkah seorang suami kepada istri dengan menunjukkan sebab turunnya ayat tersebut sebagai sebuah jawaban atas pernyataan Ummu Salamah yang mempertanyakan kelebihan laki-laki di dalam pembagian harta waris dibandingkan dengan bagian wanita.
Allah جل جلاله memberi penjelasan tentang keutamaan laki-laki di dalam pembagian harta waris karena adanya kewajiban dari setiap laki-laki untuk mengeluarkan mahar dalam perkawinan dan infak dalam keluarga melalui kalimat “wa bimâ anfaqû min amwâlihim”. Wallahualam Bissawab. (ar)
Sumber:
- Buku Hukum Fikih Seputar Nafkah, Maharati Marfuah Lc, Rumah Fiqih Indonesia