ROTASI.CO.ID – Keluarga adalah penggabungan fitrah antara dua jenis kelamin menuju rumah tangga. Keluarga merupakan bangunan utama sistem sosial, termasuk juga dalam masyarakat Islam. Maka AlQur’an sebagai petunjuk manusia, sangat mengatur kehidupan dalam keluarga serta melindungi keluarga dari anarkisme jahiliyyah.
Perhatian Islam terhadap keluarga sepadan dengan perhatiannya terhadap kehidupan individual serta kehidupan manusia secara keseluruhan. Keluarga dibentuk dan diikat dalam ikatan perkawinan yang sah. Diantara tujuan perkawinan itu adalah terciptanya saling cinta serta adanya ketenangan dalam keluarga.
Semua itu tercapai karena kebutuhan primer kehidupan manusia terpenuhi. Dalam hal ini adalah nafkah rumah tangga, baik berupa materi maupun non materi.
Nafkah adalah mencukupi kebutuhan orang yang menjadi tanggungan baik berupa makanan, lauk, pakaian dan tempat tinggal dan turunannya. Nafkah diartikan sebagai biaya yang wajib dikeluarkan oleh seseorang terhadap sesuatu yang berada dalam tanggungannya meliputi biaya untuk kebutuhan pangan, sandang, papan, termasuk juga kebutuhan sekunder,
Lalu, apa saja macam Nafkah itu?
Nafkah itu terbagi dari empat macam, yaitu Nafkah diri sendiri, nafkah istri, nafkah kerabat dan nafkah untuk benda milik.
Nafkah untuk Diri Sendiri
Diri sendiri dari manusia termasuk yang paling utama untuk diberi nafkah. Sebelum membari nafkah kepada orang lain, hendaknya seorang memberikan nafkah dahulu kepada dirinya. Hal ini sebagaimana dalam hadits Nabi:
“(Gunakanlah ini) untuk memenuhi kebutuhanmu dahulu, maka bersedekahlah dengannya untuk (mencukupi kebutuhan) dirimu. Jika masih berlebih, berikanlah kepada keluargamu. Jika masih berlebih, berikanlah kepada kerabatmu. Jika masih berlebih, berikanlah kepada ini dan itu.” (HR. Muslim no. 997).
Dalam hadits lain, memenuhi nafkah untuk diri sendiri termasuk bentuk shadaqah. Sebagaimana hadits riwayat Imam Ahmad: “Dari Miqdam bin Madikarib berkata, Rasulullah bersabda: “Sesuatu apa pun yang Engkau berikan sebagai makanan kepada dirimu, maka itu merupakan sedekah. Demikian pula yang Engkau berikan sebagai makanan kepada anakmu, istrimu, bahkan kepada budakmu, itu semua merupakan sedekah.” (HR. Ahmad).
Nafkah untuk Istri
Para ulama menyebutkan bahwa sebab nafkah wajib kepada orang lain karena 3 hal; zaujiyyah atau pernikahan, qarabah atau kerabat, milkiyyah atau kepemilikan.
Nafkah karena ikatan pernikahan ini adalah pemberian nafkah karena ikatan pernikahan yang sah. Bukan saja terjadi karena pernikahan yang masih utuh, tetapi juga pernikahan yang telah putus atau cerai dalam keadaan talak raj’i dan talak ba’in hamil. Dalilnya adalah sebuah ayat:
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”. (Q.S. an-Nisa: 34).
Hukum memberi nafkah dari suami kepada istri adalah wajib. Nafkah isteri disini adalah kewajiban suami terhadap isterinya dalam bentuk materi, karena kata nafkah itu sendiri berkonotasi materi. Sedangkan kewajiban dalam bentuk non materi, seperti memuaskan hajat seksual isteri tidak masuk dalam artian nafkah, meskipun dilakukan suami terhadap isterinya.
Kata yang selama ini digunakan secara tidak tepat untuk maksud ini adalah nafkah batin sedangkan dalam bentuk materi disebut dengan nafkah lahir. Dalam bahasa yang tepat nafkah ini tidak ada lahir atau batin, hanya nafkah yang maksudnya adalah halhal yang bersifat lahiriyah atau materi.
Untuk bentuk nafkah dari pernikahan yang telah putus atau cerai dalam keadaan talak raj’i dan talak ba’in hamil, menurut Malikiyyah dan Syafi’iyyah hanya dibatasi berupa nafkah tempat tinggal saja.
Nafkah untuk Kerabat
Hubungan kekerabatan termasuk menjadi salah satu sebab wajibnya nafkah. Hanya saja mereka berbeda pendapat terkait kerabat bagian mana yang wajib dinafkahi. Bahkan hampir tiap mazhab memiliki pandangan sendiri-sendiri dalam masalah ini.
Wahbah az-Zuhaili meringkas pendapat itu sebagai berikut: Kalangan Mâlikiyyah berpendapat bahwa kerabat yang berhak mendapatkan nafkah hanya pada hubungan orang tua dan anak (alwâlid wa al-walad).
Syâfi’iyyah berpendapat bahwa nafkah diberikan kepada hubungan orang tua dan anak serta cucu dan kakek (ushûl dan furû’). Adapun Hanâfiyyah berpendapat, yang mendapat nafkah karena kerabat bukan saja ushûl dan furû’ akan tetapi juga pada jalur ke samping (hawâsyi) dan dzawi al-arhâm. Sedangkan Hanâbilah berpendapat lebih umum lagi asalkan pada jalur nasab.
- Nafkah Kepada Orang Tua
Nafkah anak kepada orang tua adalah perintah dari ayat Al-Qur’an: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia,” (Q.S. alIsra’: 23).
Dalam ayat lain disebutkan: “dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik. (Q.S: Luqman: 15).
Meski ayatnya hanya menyebutkan untuk mempergauli kedua orang tua dengan baik, tapi para ulama menyebutkan bahwa bukanlah hal yang baik jika membiarkan kedua orang tua meninggal karena kelaparan.
Dalam ayat lain disebutkan: “Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: “Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan”. Dan apa saja kebaikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya. (Q.S: al-Baqarah: 215).
- Nafkah Orang Tua Kepada Anak
Secara umum orang tua wajib memberi nnafkah kepada anak mereka. Perintah nafkah orang tua kepada anak, dalilnya adalah ijma’ para ulama. Ibnul Mundzir mengatakan Ulama yang kami ketahui sepakat bahwa seorang lelaki wajib menanggung nafkah anakanaknya yang masih kecil, yang tidak memiliki harta.
Nafkah untuk Benda Milik
Adapun nafkah karena sebab kepemilikan seperti hamba sahaya dan binatang piaraan. Seseorang yang di zaman dahulu memiliki hamba sahaya, atau hari ini memiliki hewan peliharaan, harus menafkahinya dengan memberi makanan dan minuman yang bisa menopang hidupnya,
Hikmah pemberian nafkah kepada budak adalah kembali kepada masalah kasihan terhadap diri budak yang lemah yang tidak mampu apa-apa yang tiada daya dan kekuatan dan tiada harta sama sekali. Telah diketahui dalam agama bahwa hamba sahaya adalah milik tuanya, kalaupun tuan itu tidak wajib memberinya nafkah, niscaya manusia lemah ini akan kelaparan dan telanjang sepanjang hari. Hal demikian tidak disetujui oleh akal dan tidak ditetapkan oleh agama.
Bila seorang tidak mau melaksanakannya, maka hakim boleh memaksa orang tersebut untuk memberikan nafkah kepada binatang piaraan dan pelayannya.
Keberadaan nafkah tentu mempunyai pengaruh dan fungsi yang sangat besar dalam membina keluarga yang bahagia, tenteram dan sejahtera. Tidak terpenuhi nafkah sama sekali atau nafkah yang tidak cukup dapat berakibat krisis perkawinan yang berujung pada perceraian.
Keberadaan nafkah tentu mempunyai pengaruh dan fungsi yang sangat besar dalam membina keluarga yang bahagia, tenteram dan sejahtera. Tidak terpenuhi nafkah sama sekali atau nafkah yang tidak cukup dapat berakibat krisis perkawinan yang berujung pada perceraian.
Dalam Islam, suami berkewajiban menafkahi isteri mempunyai hikmah yang besar. Ketika menjadi isteri, seorang isteri itu terbelenggu perkawinan yang merupakan hak-hak dari hak-hak suami, sementara itu dilarang bekerja untuk suami. Maka dari itu segala kebutuhan isteri menjadi tanggung jawab suami. Wallahualam Bissawab. (ar)
Sumber:
– Buku Hukum Fikih Seputar Nafkah, Maharati Marfuah Lc, Rumah Fiqih Indonesia