ROTASI.CO.ID – Mendalami Naskah UU Omnibus Law, Forum Silaturahmi Asosiasi Travel Haji dan Umroh (Forum SATHU) menilai adanya perlakuan yang tidak adil terhadap usaha di bidang keagamaan, khususnya di bidang penyelenggaraan umroh dan haji. Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Dewan Pembina SATHU, Fuad Hasan Masyhur.
Fuad mengatakan selama ini Forum SATHU memahami bahwa kehadiran UU Omnibus Law untuk mendukung perkembangan dunia usaha ternyata tidak untuk usaha di bidang keagamaan.
Bahkan kata dia, saat ini masyarakat merasa terbebani dan adanya ketidakadilan dalam naskah UU Omnibus Law.
Ia menyebut, Forum Silaturahim Asosiasi Travel Haji dan Umroh mempersoalkan UU Cipta Kerja yang menguatkan regulasi sebelumnya untuk mewajibkan biro perjalanan ibadah memiliki dana deposit jamaah sebagai dana jaminan.
“Omnibus Law tujuannya meringankan semua pihak, tapi yang terjadi hari ini bahwa sekarang saja pembelian rumah bisa 0%, beli mobil bisa 0%, loh tapi kenapa umat muslim ingin umroh, ibadah loh ini tapi harus ada dana deposit,” ucapnya saat jumpa persnya, Jumat (23/10/2020).
Pihaknya menilai beberapa pasal di Undang-Undang Omnibus Law memberatkan pengusaha di sektor keagamaan. Oleh karena itu, Forum SATHU meminta Presiden Joko Widodo memberikan perhatian atas masalah tersebut demi terwujudnya rasa keadilan yang positif khususnya untuk umat muslim.
“Kiranya masih bisa diperbaiki, Alhamdulillah. Kalau sebagai pertimbangan prosedural tidak bisa diubah karena sudah diserahkan, kiranya bapak presiden berkenan menerbitkan Perpu sebagai perbaikan atas pasal-pasal yang bermasalah,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Harian Forum SATHU, Artha Hanif mengatakan, usaha umroh dan haji merupakan usaha yang sangat terkait dengan kegiatan ibadah umat muslim. Selain itu usaha umroh dan haji juga merupakan satu-satunya sektor usaha yang dimiliki oleh kaum muslimin yang mesti dihormati.
“Perlu kami sampaikan bahwa sebagai pelaku usaha di bidang umroh dan haji khusus kami menilai berbagai aturan yang ada, baik yang termuat dalam peraturan menteri agama maupun SK-SK Dirjen kurang memberikan dukungan terhadap perkembangan usaha ini,” ungkapnya.
Ia menuturkan, antara lain ketentuan yang tidak memberikan dukungan terhadap perkembangan usaha umat muslim misalnya mengenai proses perizinan baru, perpanjang izin, ketentuan deposit, akreditas, proses pelayanan jemaah dan lain sebagainya.
Dalam Undang-Undang Omnibus Law, Forum SATHU melihat bahwa berbagai kewenangan pada Undang-undang nomor 8 tahun 2019 tentang pelayanan haji dan umroh yang menjadi kewenangan utama ditarik menjadi kewenangan pemerintah pusat dalam hal ini presiden.
Prinsip ini kata Artha, berarti mengubah fungsi ganda yang dimiliki oleh Kementerian Agama, yaitu sebagai regulator, operator dan sekaligus sebagai eksekutor.
Prinsip ini selalu dan terus menjadi sorotan berbagai pihak, maka dari itu pihaknya mengusulkan agar keberadaan asosiasi umroh secara jelas dan tegas dapat ditempatkan dalam Undang-Undang Omnibus Law sebagai mitra pemerintah.
Arta mengaku melihat adanya keanehan dan tendensius dalam Undang-Undang Omnibus Law. Seperti ada perlakuan yang tidak adil kepada masyarakat di bidang keagamaan khususnya dalam penyelenggaraan umroh dan haji.
Secara khusus Forum SATHU menyoroti penambahan pada pasal 94 ayat 1 butir K dan ayat 2 yang sebelumnya ini tidak termuat dalam RUU yang menjadi pokok bahasan. Di samping itu banyak pula pertimbangan yang diajukan Forum SATHU tetapi tidak terakomodir dalam undang-undang tersebut
Selain itu Forum SATHU, menilai adanya penyusupan untuk kepentingan pihak-pihak tertentu.
“Pasal 94 ayat 1 butir K yang akan ditindaklanjuti dengan ayat 2 sangat berpotensi menimbulkan penampungan dana umroh dari masyarakat yang sangat besar, sebagaimana juga sudah terjadi pada dana setoran awal aja yang saat ini sudah mencapai sekitar 130 triliun,” jelasnya.
Menurutnya, pengertian pasal ini pernah juga termuat dalam SK Dirjen Nomor 323 tahun 2019, yang Forum SATHU tolak lewat gugatan ke PTUN dan gugatan Forum SATHU menang dan sudah inkrah setelah banding Kementerian Agama ditolak di pengadilan tinggi TUN.
“Selama ini kami memahami bahwa kehadiran Undang-Undang Omnibus Law untuk mendukung perkembangan dunia usahanya ternyata tidak untuk usaha di bidang keagamaan,” tandasnya. (dyt)