Rotasi.co.id – Anggota DPR RI, Dede Yusuf Macan Effendi, menegaskan bahwa pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset tidak bisa dilepaskan dari penyelesaian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang kini menjadi prioritas di parlemen.
Menurutnya, KUHP merupakan payung hukum utama yang harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum mengatur turunan undang-undang lain.
“Saat ini DPR melalui komisi terkait sedang fokus pada KUHP. KUHP ini adalah babon, induk dari semua peraturan hukum yang ada,” ujar Dede Yusuf dalam keterangannya, Kamis (11/9/2025).
Dede Yusuf menjelaskan bahwa KUHP yang digunakan Indonesia hingga kini masih warisan era kolonial Belanda.
Oleh karena itu, pembaruan KUHP menjadi langkah fundamental dalam memperkuat sistem hukum nasional.
“KUHP kita ini masih menggunakan KUHP zaman Belanda. Artinya, yang harus diselesaikan dulu adalah KUHP baru, kemudian barulah Undang-Undang Perampasan Aset atau undang-undang lain yang sifatnya turunan,” tegasnya.
Pernyataan tersebut mempertegas bahwa dorongan publik agar RUU Perampasan Aset segera disahkan tetap harus memperhatikan kerangka hukum utama agar implementasinya efektif dan tidak bertentangan dengan regulasi lain.
Menanggapi desakan percepatan pembahasan RUU Perampasan Aset, Dede Yusuf menegaskan DPR RI selalu siap bekerja sama. Namun, ia menekankan proses legislasi tidak bisa dilakukan sepihak oleh parlemen.
“Kita siap. Selama pemerintahnya siap, kita juga siap. Karena membuat undang-undang itu tidak bisa hanya dari satu pihak saja. Harus ada pemerintahnya juga,” ungkapnya.
Ia menilai sinergi antara DPR RI dan pemerintah sangat penting untuk memastikan efektivitas undang-undang yang dihasilkan. Tanpa adanya kesepahaman bersama, proses legislasi berpotensi berjalan lambat bahkan terhenti.
Sebagai informasi, RUU Perampasan Aset selama ini menjadi perhatian publik karena dianggap sebagai instrumen penting dalam memperkuat upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
Melalui regulasi tersebut, negara dapat secara langsung menyita aset hasil tindak pidana tanpa harus menunggu putusan pidana terlebih dahulu. (*)