Rotasi.co.id – Pemilik Maktour Travel, Fuad Hasan Masyhur (FHM), angkat bicara terkait kabar pencegahan dirinya bepergian ke luar negeri oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pencegahan tersebut dilakukan dalam rangka penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi kuota haji tahun 2023–2024.
Fuad mengaku belum menerima pemberitahuan resmi dari lembaga antirasuah itu.
“Maaf, belum ada surat yang kami dapatkan,” kata Fuad dalam keterangannya dikutip pada Selasa (12/8/2025).
Meski demikian, pria yang juga mertua Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Dito Ariotedjo tersebut menyatakan siap mendukung proses hukum yang sedang berjalan.
“Sebagai warga negara yang baik harus siap,” ujarnya.
KPK diketahui mencegah tiga orang bepergian ke luar negeri sejak 11 Agustus 2025 hingga 11 Februari 2026.
Pencegahan ini dapat diperpanjang sesuai kebutuhan penyidikan. Tiga pihak tersebut adalah eks Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas (YCQ), mantan Staf Khusus Menteri Agama Ishfah Abidal Aziz (IAA), dan Pemilik Maktour Travel Fuad Hasan Masyhur (FHM).
Kebijakan pencegahan ini diambil agar ketiganya tetap berada di Indonesia selama proses penyidikan berlangsung.
KPK menilai keberadaan para pihak yang dicegah sangat dibutuhkan untuk memberikan keterangan dan melengkapi alat bukti.
Dalam proses penyidikan, KPK telah memeriksa sejumlah saksi, antara lain Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Hilman Latief, pegawai Kemenag berinisial RFA, MAS, dan AM, Pemilik Travel Uhud Tour Ustadz Khalid Basalamah, Sekjen AMPHURI Muhammad Farid Aljawi, serta Ketua Umum Kesthuri Asrul Aziz.
Kasus ini bermula dari dugaan penyalahgunaan kewenangan di Kementerian Agama terkait penyaluran kuota haji.
Berdasarkan Undang-Undang Haji, porsi kuota haji khusus maksimal 8 persen dan kuota haji reguler sebesar 92 persen.
Namun, pada 2024, Pemerintah Arab Saudi memberikan tambahan 20 ribu kuota haji, yang justru dibagi rata—10 ribu untuk haji reguler dan 10 ribu untuk haji khusus.
KPK menduga ada oknum yang menerima kickback dari perusahaan travel yang mendapatkan kuota haji khusus, termasuk pihak yang seharusnya tidak berhak. Kuota itu diduga kemudian dijual untuk memperoleh keuntungan pribadi.
Perkara ini telah naik ke tahap penyidikan sejak Jumat (8/8/2025) melalui surat perintah penyidikan (sprindik) umum, merujuk pada Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Namun, KPK hingga kini belum menetapkan tersangka. (*)