Cuma Setan yang Nggak Doyan Dzikiran

ROTASI.CO.ID – Pada “yang berjamaah itu cukup shalatnya, bukan dzikirnya, dzikirnya itu cukup baca sendiri mas, tidak perlu bersuara!” gertak salah satu jamaah pada maghrib itu di musholla.

“lah anda kalau tidak suka dzikir ya jangan sholat di sini aja sekalian, diajak bersatu kok bengokbengok” jawab mas Adi , salah satu pengurus musholla tersebut.

Melihat pertengkaran kedua belah pihak tersebut Kang Dul yang dipandang sebagai orang tau agama di desa mencoba menengahi sambil mempelajari duduk perkaranya.

“Ada apa kok di masjid bertengkar? Sini duduk dulu, kalau pakai diskusi santai kan enak” kata kang Dul, saya yang dari tadi menemani kang Dul ikutan duduk.

“Begini kang, tadi di tengah-tengah kita dzikiran habis shalat maghrib, mas ini tiba-tiba berdiri sambil teriak kalau perbuatan kita ini tidak ada dalilnya, ya saya jawab aja kalau dia yang ga pernah baca hadist kok sok-sokan bilang amaliyah kita ini gak berdalil” jawab mas Adi.

“bohong kang kalau saya tidak tau dalilnya, jelasjelas dalam Quran itu dikatakan agar nabi Muhammad berdoa dan berdzikir dengan suara yang lirih, ini malah mengada-ada dengan mengangkat suara” jawab pemuda itu penuh semangat.

“baik, kalau diperkenankan saya akan mengomentari masing-masing dalil dari anda berdua ya, insyaAllah dalil-dalilnya anda berdua ini sohih semua”

“ah mana mungkin kang ada dalil sohih yang membolehkan dzikir secara berjamaah” potong pemuda itu.

“makanya izinkan saya memaparkan dulu ya sambil menunggu waktu isya tiba. Jadi begini, kelompok yang semangat menggelar dzikir berjamaah itu punya landasan sebagai berikut:

Keumuman dalil dari surat Al Ahzab ayat 56 yang bunyinya: “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi[1229]. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya”.

Diriwayatkan oleh Bukhori dari Abu Hurairah: “Rasulullah Sallallah Alaihi wasallam bersabda : Allah Berkata : “Aku mengikuti prasangka hamba-Ku terhadap-Ku, dan Aku selalu bersamanya apabila dia mengingat-Ku. Apabila dia mengingat-Ku di dalam dirinya (Sirr), maka Aku akan mengingat dia pada diriKu (Sirr), apabila dia mengingat-Ku dalam jumlah kelompok yang besar, maka Aku akan menyebut nama mereka dalam kelompok yang jauh lebih baik dari kelompok mereka”.

al-Imaam as-Suyuthi rahimahullaah kemudian berkomentar: “Dan bukankah berdzikir dalam kelompok yang besar tidak lain hanya dilaksanakan secara jahr.”

Diriwayatkan oleh Muslim dan at-Tirmidzi: dari abu-Hurairah dan abu Sa’id al-Khudriy radhiyallaah ‘anhumaa, bahwasanya Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda: Tidaklah suatu kaum yang berdzikir kepada Allah melainkan para malaikat akan mengelilinginya dan melimpahkan rahmat, dan diturunkan atas mereka sakinah (ketenangan) dan Allah Ta’aala menyebut mereka kepada siapa saja yang berada di sisi-Nya. (HR Muslim)

Imam An-Nawawi dalam syarah beliau mengatakan bahwa hadits ini menunjukkan tentang kelebihan majlis-majlis dzikir dan kelebihan orangorang yang berdzikir, serta kelebihan berhimpun untuk berdzikir beramai-ramai.

Dan masih ada sekitar 21 hadist lain yang menjadi landasan kelompok yang membolehkan tahlilan atau dzikir berjamaah dengan mengangkat suara. Dalildalil tersebut dapat ditemui di kitab-kitab fatawa seperti di kitab karangan imam Ibnu hajar al-haitami dalam al-fatawa al fiqhiyyah al kubro, atau di kitab al hawi lil fatawi karangan imam as-Suyuthi rahimahumallah.

Kemudian, larangan dzikir dengan suara yang tinggi dan berjamaah menggunakan dalil berikut:

“Dan sebutlah nama Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai. [QS. Al-A’raf : 205]”

“Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula terlalu merendahkannya” (QS. Al Isro’: 110)”

“Berdoalah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al A’rof: 55)

“Kami pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika sampai ke suatu lembah, kami bertahlil dan bertakbir dengan mengeraskan suara kami. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Wahai sekalian manusia. Lirihkanlah suara kalian. Kalian tidaklah menyeru sesuatu yang tuli dan ghoib. Sesungguhnya Allah bersama kalian. Allah Maha Mendengar dan Maha Dekat. Maha berkah nama dan Maha Tinggi kemuliaan-Nya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

“nah itu semua masing-masing dalilnya samasama kuat, shahih, dan bisa dijadikan landasan” ujar kang Dul.

“wah berarti ada dalil-dalil yang saling bertentangan dong kang?” tanya mas Adi

“ndak pernah ada” jawabnya singkat

“tapi kalau pro dan kontra masing-masing dalilnya ada dan sohih bagaimana kesimpulan hukumnya kang?” tanya pemuda yang anti dzikir tadi.

“nah, disinilah peran para ulama mujtahid mencari kesimpulan hukum dengan metode yang telah mereka gagas dalam kitab-kitab ushul fiqh. Bila ada dalil-dalil yang terasa kontradiktif, maka dilacak masing-masing dalil tersebut apakah ada unsur nasikh atau mansukh, jika ditemukan, maka dalil nasikh diambil sebagai pedoman dan yang Mansukh ditinggalkan. Apabila tidak ditemukan nasikh mansukh, maka menggunakan metode tarjih di antara keduanya, mana yeng lebih rajih itulah yang diambil. Namun bila juga tidak bisa ditemukan dengan metode tersebut, maka yang dilakukan selanjutnya adalah metode al jam’u wa-t-tawfiq, yakni menggabungkan kedua dalil kontradiktif tersebut dan mengamalkannya bersamaan dalam kondisi tersendiri, dan sepertinya metode ini cocok dilakukan pada kasus dalil pro dan kontra dzikir berjamaah, karena semuanya sama-sama kuat”

“jadi seperti apa itu kang?” tanya si mas-mas dzikir di sirkan tadi

“begini, menanggapi dalil yang diangkat golongan yang anti dzikir berjamaah, imam as-Suyuthi dalam kitab AL hawi lil fatawi mengatakan bahwa ayat yang memerintahkan Nabi Muhammad melirihkan suara saat berdoa adalah ayat makkiyah, maksudnya ayat tersebut turun di Mekah. maka ada unsur kehatihatian dalam hal tersebut. apa mungkin di awal-awal dakwah nabi, yang mana semua orang mencurigainya hingga nyawanya terancam, beliau berdoa dengan suara yang lantang? Itu sama saja seperti setor nyawa.

Dari sini, bisa kita amalkan kedua dalil kalian dengan kondisi-kondisi sebagaimana berikut:

1. Dzikir berjamaah boleh dilakukan seusai shalat fardlu apabila dalam kondisi normal tidak ada ancaman.

2. Dilarang berdzikir dan berdoa dengan suara yang kencang apabila mengganggu jamaah lain yang sedang shalat, atau sedang dalam keadaan terancam, seperti pada kaum muslim minoritas yang terancam nyawanya bila melakukan ibadah terangterangan.

3. Berdoa dianjurkan dengan suara yang pelan atau dalam hati apabila doanya adalah untuk kepentingan diri sendiri, seperti doa minta jodoh, kebaikan rizqi, dan lain-lain, sementara doa yang redaksinya adalah untuk jamaah maka boleh disuarakan dengan keras oleh imam.

“sudah jelas ya mas-mas sekalian, jadi kalau ada ikhtilaf ndak perlu bengok-bengok, apalagi kalau yang diperdebatkan di luar kapasitas kita” ujar kang Dul

“kalau saya tidak mau ikut dzikirannya gimana kang” tanya mas tadi

“silahkan keluar dari barisan dengan tertib dan tidak perlu menghardik orang-orang yang berdzikir soalnya cuma setan yang gak doyan lihat orang dzikiran” senyum kang Dul Akhirnya majlis itupun bubar beriringan dengan dikumandangkannya Adzan Isya. (ar)

Sumber:

  • Kumpulan Cerpen FIkih, Setan Nggak Doyan ZIkiran, dari Firman Arifandi. Rumah Fikih Indonesia

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here