ROTASI.CO.ID, Internasional – PBB menyatakan 24 juta orang terancam kehilangan pekerjaan akibat pandemi COVID-19, demikian diumumkan oleh Organisasi Buruh Internasional PBB (ILO). ILO telah melakukan beberapa skenario berbeda untuk melihat dampak COVID-19 terhadap pertumbuhan GDP secara global.
Dilansir dari website resminya, pada Minggu (22/3/2020), Direktur Jenderal ILO, Guy Rider melihat hasil angka pengangguran secara global ini, dilaporkan dapat meningkat sebanyak 5,3 juta berdasarkan skenario ‘rendah’ dan 24,3 juta berdasarkan skenario ‘tinggi’.
“Tapi, jika respon kebijakan dapat terkoordinasi secara internasional, seperti yang terjadi pada krisis keuangan global di 2008/9, maka dampaknya terhadap pengangguran global bisa jauh lebih rendah,” tulis ILO di websitenya.
Jika, 22 juta orang kehilangan pekerjaan dalam krisis keuangan tersebut, maka tidak bisa dipungkiri, pandemi COVID-19 telah membuat banyak sekali bisnis tertekan, bahkan pemerintah di beberapa negara telah berjanji akan mengambil langkah-langkah untuk mencegah adanya PHK.
“Ini bukan lagi krisis kesehatan global. Ini juga telah menjadi krisis pasar tenaga kerja dan ekonomi yang berdampak besar terhadap hidup banyak orang,” kata Guy Rider.
Katanya, laporan PBB ini juga turut mengidentifikasi tingkat pekerja secara global yang masih hidup dalam kemiskinan. Laporan tersebut memprediksi bahwa efek pandemi COVID-19 akan membuat 8,8 – 35 juta orang bekerja di bawah status kemiskinan di akhir tahun 2020.
Ia menuturkan, angka ini jauh meningkat dibandingkan dengan perkiraan asli untuk tahun 2020 jika tidak ada pandemi COVID-19 , yang memproyeksikan adanya penurunan sebanyak 14 juta di seluruh dunia.
Hilangnya pekerjaan juga berarti hilangnya pendapatan bagi para pekerja. Studi PBB menempatkan ini di antara 860 miliar dolar (13 ribu triliun rupiah) dan 3,4 triliun dolar (52 ribu triliun rupiah).
Sementara itu, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, Indonesia rentan terhadap krisis ekonomi. Apalagi kini sedang merebaknya virus corona atau COVID-19 di Indonesia yang berdampak terhadap perekonomian.
Ia pun memaparkan lima faktor alasan Indonesia rentan masuk dalam krisis ekonomi. Pertama, pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perlambatan yang cukup tajam, yang diperkirakan hanya 4,5-4,8 persen di tahun 2020.
“Bahkan Tahun 2008 pada saat krisis subprime mortgage di AS, pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat 6,1 persen. Baru setelahnya turun tajam ke 4,5 persen. Jadi kondisi saat ini jauh lebih beresiko dibandingkan krisis tahun 2008,” kata Bhima.
Kedua, terkait aliran modal keluar sepanjang enam bulan terakhir, tercatat investor asing melakukan aksi jual sebesar Rp16 triliun.
Indek Harga Saham Gabungan (IHSG) turun 24 persen di periode yang sama. Sementara itu kurs rupiah melemah 5,41 persen dalam 6 bulan terakhir sebagai akibat dari keluarnya dana asing.
Selanjutnya, ketiga, Indonesia makin rentan terpapar kepanikan pasar keuangan global. Menurut Asian Development Bank (ADB), sebanyak 38,5 persen surat utang pemerintah Indonesia dipegang oleh investor asing. Lebih tinggi dari negara Asia lainnya. Jika terjadi aksi jual secara serentak tentunya ini beresiko tinggi terhadap krisis ekonomi. (fn1/ilo/dbs/cnn/lip)